selamat datang di rumah sederhana saya. mari bersama berusaha mengumpulkan hikmah yang terserak di antara semesta kehidupan, dalam upaya menyadarkan diri bahwa kita hanyalah manusia.
Posted by SHANDY on 18:39


Pada hari Sabtu, 25 Juli 2009, ada dua peristiwa yang membuat saya kepikiran tentang banyaknya ikhwan yang ingin segera menikah dini (termasuk saya, hehehe). Peristiwa pertama, saat sedang menuju masjid kampus untuk shalat ashar, tepat pukul 14.25 wib, saya melihat seorang akhwat berdiri di depan pintu gerbang Universitas Airlangga. Berkali – kali ada mikrolet yang menawari dia untuk naik, namun semuanya ditolak. Baru setelah dari arah timur ada sebuah taksi yang berjalan ke arahnya, akhwat itu mau memanggilnya.

Peristiwa kedua, setelah shalat ashar, saya berjalan menuju gerbang untuk pulang. Saat itulah saya melihat seorang akhwat lain yang sedang ngebut dengan penuh semangat naik sepeda pancal. (kayaknya udah telat datang halaqah nih) Namun, masya Allah, tak tampak sedikit pun rasa lelah di wajah akhwat itu. Wajahnya tetap berseri – seri dan penuh semangat.

Dua peristiwa itu yang membuat saya berpikir seandainya dua akhwat itu dapat dianggap sebagai dua tipe akhwat. Lantas saya teringat pada tulisan yang pernah saya baca. Yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesanggupan untuk menafkahi istri bukanlah berarti si ikhwan harus mapan terlebih dahulu. Cukuplah jika ikhwan tersebut mau berusaha dengan sekuat tenaga untuk menafkahi keluarganya. Pendeknya, untuk menikah tidak perlu menunggu sampai mapan lah.

Oke jika memang tidak harus mapan. Itu tidak akan menjadi masalah jika yang kita (ikhwan) dapatkan sebagai istri kelak adalah akhwat tipe kedua, yang begitu bersemangat menjalani hari – hari dan segala aktivitasnya walaupun dengan fasilitas yang tidak begitu berlebihan, naik sepeda pancal pun oke. Jika dapat istri seperti ini, cukuplah nanti kita antarkan dia kemana – mana naik motor. Hujan dan panas kita hadapi berdua. (Ceilaaaaahhh)

Namun bagaimana jika yang kita (sekali lagi, ikhwan. Yang nulis ikhwan ini) dapatkan sebagai istri adalah akhwat tipe pertama? Jika kita belum mapan, sanggupkah kita untuk memenuhi nafkah dia yang tentu saja tidak biasa hidup pas-pasan? Jangan dulu berpikir soal susu bayi yang harganya selangit, atau biaya sekolah anak yang semakin tidak merakyat. Coba kita berpikir, jika nanti istri kita ada halaqah, dia berangkat naik taksi. Mau ngisi kajian, naik taksi lagi. Mau belanja, nggak mau ke pasar tradisional yang becek. Maunya ke HERO, naik taksi lagi. Mau mudik jenguk ortu atau mertua, ga mau diajak naik kereta ekonomi, maunya naik yang eksekutif atau naik pesawat. Dan lain – lain.

Jika seperti itu, cukupkah kita berkata, yang penting adalah kesanggupan untuk berusaha menafkahi, sementara pendapatan kita sendiri masih pas – pasan?



0 comments:

Search